Wednesday 31 May 2017

Bigot yang Nyaring Bunyinya

Sedang resah dengan bigot, ekstremis, dan fanatik agama di Indonesia belakangan ini. Berawal dari seringnya melihat postingan di berbagai media sosial (lebih sering di Whatsapp, Line, Instagram, dan Facebook) yang cenderung menyalahkan agama tertentu seolah sikapnyalah yang mahabenar. Kadang saya tidak habis pikir, mengapa orang-orang seperti ini sama sekali tidak memiliki nilai-nilai kemanusiaan (apalagi) rasa toleransi (?). 

Sejak SD tentunya kita semua belajar bab-bab kemanusiaan dalam buku PPKn yang kita beli dari sekolah. Bab-bab itu membahas tentang toleransi, tenggang rasa, tanggung jawab, sampai keadilan yang menjadi hak seluruh bangsa di negeri ini. Oh tentu! Saat SD kita hafal betul definisi toleransi dan materi-materi kemanusiaan lainnya dengan amat jelas tapi dalam praktiknya saat ini? Teori dan definisi itu sudah berhembus menjadi angin lalu. Sebagian dari kita malah mengelasbawahkan agama dan suku tertentu. Apa yang salah menjadi minoritas di negeri ini? Apa yang salah menjadi pemeluk agama minoritas di negeri ini? 

Kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan dari keluarga siapa, begitu pun dengan teman-teman minoritas yang selalu dianggap berbeda (kafir) oleh sekelompok mayoritas radikal yang merasa maha benar. Mengapa mereka yang merasa pribumi dan katanya Islam merasa terancam dengan keberadaan yang mereka panggil "Cina"? Is there anything wrong with being "Cina"? Ini ga masuk logika sama sekali. Tidakkah orang-orang ini berpikir, bagaimana jika mereka merantau ke suatu negara, menjadi minoritas kemudian diinjak harga dirinya oleh warga setempat? Apakah orang-orang kimcilan yang suaranya nyaring ini akan diam saja? Wah tidak mungkin, orang-orang ini tentu aku menuntut keadilan. Sama halnya dengan mereka. Tidakkah orang-orang ini melihat dalam perspektif sebaliknya? Hmm.. melihat kondisi sekarang sih, saya ragu. Mengapa orang-orang yang merasa pribumi dan katanya islam ini hanya bersuudzon terhadap "Cina" di dalam hatinya? Sombong sekali wahai kau para inlander.

Konsep pancasila sudah dikemukakan sebagai dasar negara oleh Soekarno dengan berbagai pertimbangan. Nilai-nilai pancasila sudah merangkum keseluruhan ideologi sebagai dasar negara karena negara kita penuh dengan keberagaman, penuh dengan perbedaan, tapi kita tetap satu dalam nusa, satu dalam bangsa, satu dalam bahasa. Entah harus bagaimana lagi agar para inlander ini paham betul caranya bertoleransi. Dan percayalah bukan dengan Khilafah. Bukan. Negara kita terdiri dari berbagai macam suku, agama, dan ras. Jangan kau merasa sombong ingin menegakkan hukum itu di bumi pertiwi ini. Khilafah bukanlah solusi, solusi yang sebenarnya adalah pola pikir kita sendiri. Pola pikir yang terdidik dengan benar bukan pola pikir yang masih termakan oleh berita-berita hoax hingga semudah itu terprovokasi. Cobalah untuk tabayyun, melihat masalah bukan hanya dengan satu perspektif saja, banyak membaca (bukan judulnya saja). Sayang, kita ini bangsa yang besar, potensi kita banyak, kekayaan kita melimpah, kasihan anak cucu jika orang-orang seperti ini malah merusak kesatuan negari kita ini.

Prasangka lain (selain "Cina") pun sering saya temukan dalam kehidupan sehari-hari.
"Jangan makan di Mc Don*ld itu produk yahudi!" atau "Jangan minum di Starbu*ks itu produk yahudi" (update-nya di Facebook).
Dude, r u high? Mark Zuckerberg is Jewish, Men!
Saya kadang heran melihat para inlander yang senang share berita-berita yang memojokkan agama dan suku tertentu melalui Whatsapp, Line, atau aplikasi Chatting lain yang di dalamnya terdapat orang yang memeluk agama atau suku tersebut. Ini ga ada yang laporin sebagai penistaan agama juga? Atau yang boleh melaporkan kasus penistaan agama hanyalah agama mayoritas saja? Bruh, mereka melihat keadilan dari sisi mana sebenarnya? Apakah mayoritas berhak menguasai dan mengendalikan? Saya sudah sepenuhnya yakin, tiap-tiap agama selalu mengajarkan kebaikan dan kepedulian antar-sesama bukan saling menyaingi satu sama lain. Kita sama-sama tahu bahwa masing-masing pemeluk agama akan merasa agama dia lah yang paling benar tapi bukan berarti menjatuhkan dan menjelek-jelekkan agama lain, come on! Jika kamu seperti itu, kita sudah selayaknya tahu dan menilai seperti apa kamu sebenarnya.  

"Dilarang membangun mesjid di Poso"
"Dilarang membangun gereja di Aceh"
"Bakar sinagog di Sumatra"
Sudahlah, mau sampai kapan terus begini? Saat negara lain sudah menyiapkan proyek besar untuk masa depan, kita masih terjebak dalam isu-isu SARA yang malah memecah negeri kita sendiri. Sudah sejauh mana kita tertinggal? Hanya kita yang bisa menjawab. Kalian boleh mendirikan mesjid di mana pun, gereja di mana pun, wihara di mana pun, pura di mana pun, kuil di mana pun, sinagog di mana pun, negara kita ini (seharusnya) melindungi kebebasan beragama.


Satu hal, agamaku sudah mulia dengan sendirinya, mau dinodai, dinistakan, diinjak-injak seperti apapun, ia tidak akan pernah berkurang kemuliaannya sedikitpun, entah bagaimana dengan agamamu (?)  

No comments:

Post a Comment

© Asri Nuranisa Dewi
Blogger Template Designed by pipdig